Meraih Haji Mabrur

Pengertian Mabrur

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ

« الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ ».

Sabda Rasulullah SAW. ”Dari Umrah ke Umrah adalah penghapus dosa. Dan tidak ada balasan bagi haji mabrur selain syurga” (HR Ahmad, al-Bukhari Muslim dan lainnya)

Salah satu ibadah yang secara khusus disebut sebagai sarana untuk mencapai tingkat "Mabrur" adalah ibadah Haji. Untuk meraih haji Mabrur harus ditempuh tiga tahap, sebagaimana dikutip dari buku "Bekal Haji dan Umrah" - M.Rahmat Najieb - Risalah Pers:

Pertama, Persiapan sebelum berangkat;. 

Yang paling penting adalah niat melaksanakan haji harus ikhlas karena Allah. Banyak orang yang pergi haji tetapi tidak ikhlas semata-mata karena Allah. Ada beberapa hal yang memalingkan niat mereka. Diantaranya untuk hanya untuk meraih gelar haji, mencari popularitas, ingin disebut orang kaya, ingin disebut orang yag beruntung karena mendapat kesempatan, atau mungkin saja karena banyak uang sehingga bingung untuk membelanjakannya, bahkan ada di antara mereka dengan tujuan mencari penghidupan atau usaha dengan cara meminta-minta. Perhatikan firman Allah, WA LILLAAHI 'ALAN NAASI HIJJUL BAYT MANISTHAA'A ILAYHI SABIYLA. ("Dan karena Allah wajib atas manusia beribadah haji, bagi orang yang istitha'ah." (QS Ali Imran (3) : 97). 

Ayat di atas mendahulukan kata LILLAAH (karena Allah) sebelum kata 'ALANNAASI (wajib atas manusia). Hal ini menunjukkan niat yang ikhlash harus diutamakan. Mengingat pergi haji itu memerlukan istitha'ah (fisik yang kuat, bekal yang cukup, pengorbanan yang banyak). Orang yang memiliki ongkos pas-pasan bisa mendapat kerugian yang besar, bila hajinya hampa sebab tidak ikhlas karena Allah.

Haji itu diwajibkan bagi orang yang istitha'ah. Istitha'ah adalah kemampuan untuk mengadakan perjalanan ke Makkah, sanggup untuk tinggal beberapa waktu di sana, dan siap melakukan ibadah haji. Sebab itu calon jamaah haji sebelum berangkat ke tanah suci diwajibkan mempersiapkan segala sesuatunya untuk bekal. Bekal yang dimaksud adalah ongkos perjalanan, biaya tinggal di Makkah, biaya tinggal untuk keluarga, kesehatan, latihan fisik, ilmu agama, dan ketaqwaan. Firman Allah, "Berbekallah, maka sebaik-baik bekal adalah taqwa." Taqwa adalah buah ibadah terutama dari shaum Ramadlan, karena itu Allah Swt mewajibkan haji setelah Ramadlan agar jamaah benar-benar berbekal taqwa.  Di samping itu  jamaah calon haji dituntut untuk memahami kayfiyah pelaksanaan ibadah haji dan ibadah lainnya sesuai dengan sunnah Nabi SAW

Kedua, Saat pelaksanaan ibadah Haji; 

Firman Allah, ”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. ... ”(QS. Al Baqarah:197).

Sekurang-kurangnya pada ayat ini ada tiga larangan bagi orang yang berhaji dan anjuran untuk sering berbuat kebaikan walaupun sedikit. Rofats artinya berbuat dan berkata yang menjurus kepada hubungan suami isteri, kecuali setelah tahallul; tahallul umrah atau tahallul haji. Fusuq atau perbuatan fasik maksudnya melakukan pelanggaran atau perbuatan terlarang bagi muhrim (yang sedang ihram) seperti berburu, memakai pakaian yang dijahit, dan mengenakan wangi-wangian. Sedangkan Jidal adalah bertengkar sampai menyakitkan hati orang lain; mengalah adalah sikap yang terbaik pada saat haji.   

Ketiga, Setelah kembali di tanah air.

Harus ada perbedaan sikap, keimanan, keilmuan, antara sebelum haji dan setelah haji. Perbuatan baik harus meningkat dan perbuatan buruk harus ditinggalkan.

Bila kita mengingat kembali saat berada di Makkah dalam rangka manasik haji, banyak hikmah dan manfaat yang tersirat di antaranya: 

  1. Mengenakan pakaian ihram yang suci bersih, dan melafazhkan niat kerena Allah harus mampu membersihkan hati dari segala penyakit;
  2. Saat mengucapkan talbiyah berulang kali, harus mampu meluluhkan kalbu yang angkuh, bahwa kita sebenarnya tidak mempunyai apa-apa, harta dan kemampuan yang kita miliki adalah anugrah dari Yang memiliki AL-HAMDA WAN NI'MATA WAL MULKA.;
  3. Thawaf mengelilingi Ka'bah dan Sa'I antara Shafa dan Marwah, sebagai gambaran rutinitas kegiatan kita sehari-hari yang tidak lepas dari taqdir Allah;
  4. Mabit di Mina hari Tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah, diibaratkan sebagai persiapan untuk menuju hari yang sangat penting;
  5. Wukuf di Arafah adalah miniatur padang Mahsyar, di mana saat itu seluruh manusia dikumpulkan untuk dihisab amalnya. Pada saatnya nanti, tidak ada orang yang berpakaian dan beralas kaki, semuanya telanjang bulat. Sebab itu di sana jamaah haji harus berdzikir dan berdo'a, meminta ampunan dan rahmat serta kebutuhan lainnya;
  6. Mabit di Muzdalifah yang beralaskan tanah dan beratapkan langit harus mampu mengingat kebesaran Allah. Di sana pun kita dianjurkan minta HASANAH di dunia dan akhirat. Perlunya keseimbangan di antara keduanya;
  7. Susahnya melontar Jumrah dengan tujuh batu kecil tetapi berulang kali sampai 70 batu, menggambarkan godaan syetan dari tujuh titik kelemahan manusia; tiga di kepala: mata, telinga, dan lisan. Sisanya adalah perut, tangan, kaki dan alat kelamin. 
  8. Setelah kembali berada di tanah air, diharapkan kita masih talbiyah dan thawaf dengan mengikhlaskan diri karena Allah dalam melaksanakan seluruh kegiatan. Harus selalu ingat akan kematian dengan memperbanyak bekal untuk kehidupan di akhirat dan menjaga diri dari api neraka. Godaan syetan akan tetap ada, namun bila kita rajin dan rutin mengusirnya, dengan memperbanyak dzikir dan berdo'a, insya Allah, Dia akan memberi kekuatan  kepada kita. Saat ini kita belum berada di padang Mahsyar, artinya kita masih memilki banyak  kesempatan untuk beriman dan beramal shaleh.